Kamis, 12 Maret 2015

Paguyuban Kesenian Tionghoa Jalin Persaudaraan di Kupang

Kupang- Paguyuban sosial warga Tionghoa Indonesia di Nusa Tenggara Timur (NTT) menyelenggarakan pergelaran kesenian Tiongkok yang baru pertema kali diselenggarakan di Kupang, sebagai momen penting dalam menyatukan rasa persaudaraan.
"Pergelaran kesenian Tionghoa bertujuan untuk menjalin tali kasih etnis Tionghoa dan menjalin persaudaraan lebih erat dengan seluruh warga Tionghoa di Indonesia, khususnya di Kota Kupang. Artis, seniman dari Tiongkok menampilkan kesenian melalui tarian, lagu, atraksi seni yang sangat menarik. Menjadi suatu kesempatan emas bagi warga Kota Kupang untuk menyaksikan secara langsung pertunjukan seni dari kebudayaan negeri Tiongkok, yang dihibur dengan permainan musik sasando asal NTT," jelas Ketua Peguyuban Tinghoa NTT, Niti Susanto, kepada SP di Kupang, Kamis, (12/3).
Gubernur NTT, Frans Lebu Raya, dalam sambutannya berharap pergelaran kesenian Tionghoa dari Denpasar di Kupang NTT ini dapat memberikan inspirasi bagi masyarakat NTT untuk kembali pada budaya dan kesenian dalam kehidupan sehari-hari.
Pada kesempatan itu, Frans juga memperkenalkan NTT lewat rombongan seniman dari Tiongkok. NTT memiliki budaya dan kesenian teramat banyak. Dari Manggarai, Ngada, Ende dan Sikka, Flores Timur, Lembata, Alor, Sumba, Sabu, Rote, serta budaya Dawan dan Tetun di Pulau Timor. Kekayaan keanekaragaman budaya kesenian itu mengkristal dari pengalaman hidup para leluhur ratusan, bahkan ribuan tahun bereksistensi di wilayah NTT.
Dikatakan, kebudayaan dan kesenian daerah NTT makin tergerus dan cenderung ditinggalkan atas nama kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi komunikasi. "Seolah-olah, bila kembali ke budaya dan kesenian lokal, kita merasa tertinggal dan kuno," ujarnya.
Frans mengatakan realita miris ini mendorong pemerintah bertekad mengembangkan NTT sebagai provinsi pariwisata. Alasannya, salah satu sendi pariwisata adalah wisata budaya. Kebudayaan dan kesenian daerah yang dilestarikan bisa dikelola sebagai aset pariwisata. Budaya dan kesenian sebagia potensi pariwisata dapat dijadikan sebagai batu loncatan pembangunan ekonomi yang ramah lingkungan dan lestari.
Kehadiran rombongan pergelaran kesenian Tiongkok di Kota Kupang mengingatkan warga untuk menjaga budaya dan menjaga keharmonisan. Karena melalui kebudayaan semuanya akan menjadi harmonis. Oleh karena itu, gubernur NTT mengharapkan warga Tionghoa, di mana pun berada selalu hidup damai dan terus bekerja keras untuk membangun diri dan keluarga. Semuanya harus bersatu, baik di bidang politik, budaya, sosial, maupun ekonomi.
Gubernur NTT juga mengapresiasi pergelaran kesenian Tiongkok dan berharap pergelaran ini memotivasi masyarakat NTT untuk kembali ke akar budaya dalam hidupnya.

Yoseph A Kelen/PCN
(Beritasatu.com)

Baca Selengkapnya >>>

Jumat, 06 Februari 2015

Kisah Suram Kakaktua Sumba

Titus memandang ke ufuk timur. Menatap langsung matahari yang berpendar terang, Titus menyipitkan matanya. Tangan kanannya melintang di dahi, menapis sinar matahari.

Hari masih pagi di padang rumput Lokuhuma, Taman Nasional Manupeu Tanah Daru, Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur. Kabut mengambang di lembah-lembah bukit. Embun membasahi rerumputan.

Tapi bagi burung-burung, hari sudah terlalu terang. "Kita terlalu siang. Kakatua mungkin sudah pergi," jelas Bobby Darmawan, staf Pengendali Ekosistem Hutan Taman Nasional Manupeu Tanah Daru. 

Kakatua sumba (Cacatua sulphurea citrinocristata) tak lagi terdengar suaranya. Burung paruh bengkok berwarna putih dengan jambul jingga itu telah melalang buana. Titus masih mencari-cari kakatua sumba. 

Kami berdiri di punggung bukit sehingga bisa melayangkan pandangan ke segala arah. Pada kerumunan blok hutan di lembah bukit di sisi timur, kakatua jambul jingga menghabiskan malam. Sunyi senyap.

"Itu masih ada kakatuanya. Bertengger, lima ekor," tutur Titus. Matanya begitu awas. Lima kakatua tersebut bertengger diam di cabang pohon marra (Trameles nudiflora). Bobby menuturkan pohon ini kesukaan kakatua jambul jingga. 

"Pohonnya besar, menjulang dan kayunya tidak terlalu keras," terangnya, "cocok untuk bersarang di lubang pohon." 

Pagi itu, telinga Bobby yang peka bisa mengenali berbagai jenis burung. Seekor burung yang terbang melintas cepat, sembari bersiul seperti peluit panjang. "Itu Nuri pipi merah." Hanya suara; sementara nuri pipi merah itu segera tenggelam dalam tetajukan pohon. Bobby menuturkan bahwa di padang rumput juga ada paok la'us (Pitta elegans). "Tadi ada suaranya," ujarnya.

Baca Selengkapnya >>>

Selasa, 27 Januari 2015

Simbol perempuan di situs Liang Bua di Manggarai, Flores, NTT.

Ruteng - Liang Bua yang terletak di Desa Liang Bua, Kecamatan Rahong Utara, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT), ternyata bukan hanya sebagai tempat ditemukannya homo florensiensis dan pusat penelitian komunitas Pigmy Rampasasa, serta cerita folklore Reba Ruek, tempat tersebut juga pernah menjadi tempat diselenggarakannya pendidikan formal sekolah rakyat (SR) pada masa awal kemerdekaan. Pada 1955, SR tersebut dibuka oleh Mgr Wihelmus van Bekkum SVD, seorang misionaris asal Belanda milik Yayasan Vedapura dan sekarang menjadi Sekolah Umat Katolik Manggarai (Sukma) Ruteng dengan guru pertama Aloysius Dada (almarhum).

Menurut Eduardus Dada, putra sulung Aloysius, SR Liang Bua berjalan hanya empat tahun dan kemudian dipindahkan ke Teras pada 1959. Pemindahan tersebut dilakukan karena banyak peserta didik yang terkena penyakit sampar. Selain itu,  Kampung Teras mempunyai penduduk yang banyak dan merupakan lokasi strategis untuk dapat mendirikan gedung sekolah di kemudian hari.

Selain Liang Bua sebagai salah satu destinasi wisata sejarah, arkeologi, dan pusat purbakala di Pulau Flores, di situs tersebut terdapat pula gua di bawah tanah sedalam 23 meter. Di dasar gua bawah tanah tersebut terdapat aliran sungai bawah tanah.

Yang lebih menakjubkan lagi, situs tersebut memiliki simbol perempuan dan laki-laki. Simbol perempuan dan laki-laki tersebut tampak dalam stalaktik dan stalakmit yang eksotik berbentuk seperti kelamin laki-laki dan perempuan.

Awalnya Beritasatu.com tidak mengetahui keberadaan dan tidak pernah memotret dua sisi yang menakjubkan dari situs tersebut sebelumnya, walau kerap mengunjungi situs tersebut sebagai guider dan juga penulis cerita rakyat Reba Ruek the man of Liang Bua. Akan tetapi, pada Selasa (20/1), tanpa dinyana ditemukan sisi lain dari keagungan dan keanggunan gua batu kapur pegunungan itu.

Temuan sisi lain itu berdasarkan informasi petugas retribusi dari Dinas Pariwisata di Liang Bua, Kornelis. Konon, menurut penuturan lisan masyarakat sekitar Liang Bua, zaman dahulu simbol mirip kelamin laki-laki itu dapat memulihkan keperkasaan seorang pria yang impoten dan tidak mempunyai keturunan, sementara simbol mirip kelamin perempuan itu dapat menumbuhkan kesuburan dari seorang wanita, walau sudah menopause.

Khasiat kedua batu itu untuk memulihkan keperkasaan dan menumbuhkan kesuburan dilakukan dengan cara memegang batu tersebut dengan menjalankan ritual khusus. Kisah tersebut belum dapat dipastikan kebenarannya, tetapi merupakan sesuatu yang pasti sesuai dengan filosofi hidup orang Manggarai, Flores. Kedua batu itu adalah simbol ame rinding mane, ine rinding wie (ayah pelindung di rembang senja, ibu pengayom di kala malam). Dengan demikian, Liang Bua menjadi tempat bernaung di kala hujan, berteduh di kala terik.

Penulis: Willy Grasias/AB
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Baca Selengkapnya >>>

Sabtu, 24 Januari 2015

Meramal Nasib Setahun ke Depan (Ritual Adat Wae Rebo Manggarai)

Kampung Adat Wae Rebo, Manggarai (Koran-Sindo)
SEIRING naiknya popularitas kampung adat Wae Rebo di Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT), upacara adat Penti yang dihelat di konservasi warisan budaya UNESCO ini juga menarik wisatawan untuk berkunjung.

Acara potong ayam dan mencambuk badan menjadi kegiatan paling ditunggu.Sebelum 2012, tak banyak orang Indonesia yang mengenal Wae Rebo. Jangankan mereka yang gemar traveling , orang lokal di Kabupaten Manggarai, NTT, pun banyak yang tidak tahu. Ini karena letak desa tersebut yang sangat terpencil, di balik lembah, dan butuh hikingselama 3-4 jam untuk sampai di desa ini.

Justru orang asinglah yang lebih mengetahui tentang keberadaan Wae Rebo. Cerita ini saya dapatkan dari salah satu warga Wae Rebo yang saya temui saat berkunjung ke desa tersebut pada November tahun lalu. Menurut dia, pada sekitar akhir tahun 1990-an, gubernur NTT mengunjungi sebuah acara di Amerika.

Di sana beliau ditanya tentang kondisi Desa Wae Rebo. Karena tak tahu sama sekali tentang keberadaan desa tersebut, beliau hanya menjawab seadanya. Begitu pulang ke NTT, gubernur langsung memerintahkan jajarannya untuk membangun kembali rumah tradisional Mbaru Niang di Wae Rebo. Bantuan dari Rumah Asuh Foundation pun didapatkan. Lembaga inilah yang lantas membangun rumah adat berbentuk kerucut setinggi 15 meter dengan 5 lantai tersebut.

Kini, ada 7 Mbaru Niang di Wae Rebo, masing-masing ditinggali 6-8 keluarga. Mbaru Niang memiliki atap yang tinggi, hampir menyentuh tanah. Atap ini dibangun dengan daun lontar yang keseluruhannya ditutup ijuk. Bangunan didirikan dengan kayu worok dan bambu. Untuk menyatukannya tidak menggunakan paku, melainkan tali rotan yang sangat kuat. Kayu dan bambu kebanyakan didatangkan dari Tanah Jawa. Dibawa dengan tetap berjalan kaki menuju Wae Rebo.

Dibutuhkan dana sekitar Rp200 juta-Rp300 juta untuk membangun satu rumah. Nah yang menarik, salah satu rumah bahkan dibekali sistem panel surya yang bisa menangkap sinar matahari untuk digunakan menyalakan listrik. Lantai satu Mbaru Niang dipakai untuk tempat tinggal, termasuk tidur dan memasak.

Lantai dua untuk menyimpan bahan makanan sehari-hari. Lantai tiga untuk benih pangan, seperti padi, jagung, dan kacang-kacangan. Lantai empat untuk stok makanan ketika terjadi kekeringan. Adapun lantai lima untuk tempat sesaji kepada leluhur. Lantai dua hingga lantai lima dibuat mirip loteng. Mulai tahun 2012, Wae Rebo mulai dikenal sebagai tempat eco-tourism .

Mbaru Niang, serta lokasi Wae Rebo yang eksotis, diapit lembah juga gunung, belum lagi hawanya yang dingin sejuk, tentu menjadi daya tarik utamanya. Jika sebelumnya lokasi ini lebih banyak didatangi wisatawan internasional, kini justru lebih banyak wisatawan lokal yang berkunjung ke sini. Misalnya saja saat penyelenggaraan upacara adat Penti yang berlangsung setahun sekali, tiap tanggal 16 November.

Upacara besar

Penti adalah ritual upacara syukuran atas panen dan berkah hidup selama setahun, sekaligus permohonan perlindungan dan berkat untuk satu tahun ke depan. Di Manggarai, Penti dianggap sebagai upacara besar. Tak heran, Wakil Bupati Manggarai Deno Kamelus menyempatkan datang ke Wae Rebo. Saya sempat berpapasan dengan rombongan wakil bupati dalam rute hiking.

Menurut mereka, perwakilan pemerintah selalu hadir dalam upacara Penti . Tentu saja, pak wakil bupati juga harus berjalan kaki menanjak selama 3- 4 jam layaknya turis atau warga kebanyakan. Upacara Penti dilakukan sejak pukul 08.00 pagi. Dimulai dengan sambutan dari para tetua dan Pak Alex selaku ketua adat. Rombongan tetua dan warga diikuti rombongan turis, kemudian berbondong-bondong menuju sumber mata air Wae Rebo untuk melakukan pemotongan ayam.

Tempat ini dipilih karena air adalah sumber kehidupan. Adapun pemotongan ayam adalah untuk mencari tahu akan seperti apa nasib Wae Rebo setahun mendatang. Mengapa ayam yang dipilih? Itu karena ayamlah yang berkokok pada pagi hari, memberitahukan bahwa pagi telah datang. Karena itu, ayam juga dianggap bisa memberitahukan tentang masa setahun ke depan.

Caranya adalah dengan memotong ayam, lalu melihat kondisi organ hati ayam tersebut. Jika kondisinya bagus, maka kehidupan cerah menanti warga Wae Rebo selama setahun ke depan. Selain di sumber mata air, upacara pemberkatan juga dilakukan di pintu masuk kampung dan di area belakang kampung, dekat lahan pertanian. Kegiatan lain yang menarik dalam Penti ialah Caci, sebuah acara mencambuk badan yang cukup mendebarkan. Kegiatan ini sangat populer di Manggarai.

Aturan main Caci , satu orang akan berusaha mencambuk lawan mainnya dengan cambukan besar. Adapun lawan mainnya akan berusaha menangkis dengan tameng terbuat dari besi. Siapa yang anggota badannya terkena cambuk, dia kalah. Uniknya, bagi warga Manggarai, terkena cambuk juga bisa berarti sebuah kebanggaan. Maksudnya, orang lain akan kagum pada peserta Caci karena keberaniannya mengikuti acara tersebut. Karena itulah, terkadang ada yang sengaja agar tubuhnya kena cambuk agar punya bukti "kebanggaan" tersebut.

 Acara Caci berlangsung seru karena diselingi pantun lucu dan cemoohan kepada lawan main. Belum lagi tari-tarian yang mengiringinya. Tentu saja, Caci juga acara favorit para turis untuk sekadar ditonton atau jadi objek foto. Saat Penti pada 2014 lalu, saya cukup senang melihat rombongan turis lokal yang kelihatan lebih banyak dibandingkan turis asing.

Ini artinya, kesadaran akan eco-tourism dan wisata budaya di Indonesia semakin meningkat. Ini mungkin juga bisa diartikan bahwa orang Indonesia sudah mulai peduli dengan kekayaan bangsa sendiri dibandingkan sibuk berbangga diri dengan meniru kebudayaan bangsa lain. Semoga saja persepsi saya benar.

Herita endriana

(http://www.koran-sindo.com)
Baca Selengkapnya >>>

NTT Usulkan Pemekaran Empat Kabupaten

TEMPO.CO, Kupang - Pemerintah Nusa Tenggara Timur (NTT) mengusulkan pemekaran empat kabupaten di wilayahnya kepada pemerintah pusat. Dua Daerah Otonomi Baru (DOB) di antaranya, saat ini sedang menunggu persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. (Pemerintah Memperketat Pemekaran Wilayah Baru)

"DOB Adonara dan Kota Maumere tinggal menunggu persetujuan DPR untuk ditetapkan," kata Kepala Biro Tata Pemerintah Setda NTT, Silvester Banfatin, Sabtu, 24 Januari 2015. 

Dua daerah otonom baru lain, yakni Pantar yang dimekarkan dari Kabupaten Alor dan DOB Amanatun yang dimekarkan dari Timor Tengah Selatan (TTS) masih menunggu verifikasi dari pemerintah pusat, karena baru diusulkan Oktober 20145 lalu. "Dua DOB ini masih menunggu hasil verifikasi," katanya.

Baca Selengkapnya >>>

Monumen Sasando, Ilham yang Luar Biasa

Oleh Yoss Gerard Lema
Komisioner KPID NTT

MENARA miring Pisa di Italia adalah ikon Kota Roma. Ribuan wisatawan dari berbagai penjuru dunia setiap hari membanjiri lokasi tersebut. Saya menjadi salah satu yang berpose di bangunan miring, yang lain nekat menaiki gedung tua yang seakan-akan hendak roboh itu. 

Pemandangan serupa saya lihat di menara Eifel yang menjadi ikon kota Paris, Perancis. Ribuan wisatawan menaiki Eifel menggunakan lift untuk mencapai ketinggian dan menyaksikan kota Paris secara utuh. Ikon hebat lainnya adalah Big Ben Clock, menara jam setinggi 96,3 meter yang menjadi ikon kota London.
Lalu Golden Gate Bridge, jembatan gantung berwarna merah sepanjang 2.727 meter dengan tinggi menara 230 meter menjadi ikon kota San Fransisco. Opera House and Harbour Bridge yang dirancang John Utzon asal Denmark menjadi ikon kota Sydney. Kemudian Taj Mahal, Monas, Menara Kembar, dll adalah ikon yang mendunia.

Di pulau Timor Patung Yesus setinggi 27 meter yang berada di puncak Tanjung Fatucama telah menjadi ikon kota Dili. Siapa saja yang berkunjung ke Dili selalu menyempatkan diri bertandang kesana. Berdoa disana, memanjatkan harapan dan impian kepada Yesus Kristus Sang Juru Selamat manusia.  
                              
Sasando?
Oleh karena itu, ketika pemenang lomba rancangan Kantor Gubernur NTT diperlihatkan kepada publik, sungguh saya terkesiap. Ternyata lomba tersebut telah  melahirkan seorang arsitek besar dari rahim bumi Nusa Tenggara Timur. Perhatikan, ada sekian banyak bangunan bertebaran di sekitar kita, namun tak satu pun yang sungguh-sungguh bertumpu dan berakar pada latar budaya kita. Kalau pun ada, paling-paling menduplikasi bentuk atap sebuah rumah adat dengan sentuhan yang sangat sederhana.

 Beda dengan Monumen Sasando yang diabadikan sebagai Kantor Gubernur NTT menyiratkan kepenuhan ilham yang mengalir dari kemurnian permenungan sang arsiteknya. Ini persis seperti ketika Sasando diciptakan dari ilham para leluhur ratusan tahun silam. Kemurnian dan kesempurnaan ilham inilah yang membedakan sasando dengan berbagai alat musik manapun di kolong langit ini.       

Sehingga ketika sidang paripurna DPRD NTT pada Desember 2014 silam mengetuk palu menyetujui pembangunan Monumen Sasando dalam rupa Kantor
Gubernur NTT bagi saya adalah tanda bahwa ilham itu terpancar begitu kuat melalui keindahan arsitekturnya. Betapa elok, anggun, cantik dan megah bangunan rancangan putra asli NTT tersebut. Betapa bangganya anak cucu kelak bila diwariskan sebuah karya terhebat yang menjadi mesin penghasil devisa.

Bahwa ada dentingan fals yang menggugat dan mempersoalkan anggaran, itu wajar. Sebab hampir semua ikon hebat yang kini menghasilkan devisa miliaran dolar pada awalnya juga dikritisi soal biaya. Namun, hanya orang besar berpikiran besar yang mampu membangun hal-hal besar demi kemakmuran dan kejayaan bangsanya. Kita berharap saat ini NTT pun sedang dalam genggaman para pemimpin sekelas itu.
                                 
Filosofi Pohon Lontar
Lantas makna apa yang tersirat pada bangunan Monumen Sasando? Yoseph Liem, sang arsitek, putra asli SoE-TTS, menyebutnya sebagai harmonisasi. Siapapun yang bekerja di dalam Monumen Sasando harus menyadari peran yang  dimainkan. Harus paham akan tugas dan tanggung jawabnya didalam melayani masyarakat. Semua mesti harmoni, sehati sesuara, baru bisa  menghadapi  badai dan rintangan yang menghadang.

Sumber: http://kupang.tribunnews.com

Baca Selengkapnya >>>