Jumat, 06 Februari 2015

Kisah Suram Kakaktua Sumba

Titus memandang ke ufuk timur. Menatap langsung matahari yang berpendar terang, Titus menyipitkan matanya. Tangan kanannya melintang di dahi, menapis sinar matahari.

Hari masih pagi di padang rumput Lokuhuma, Taman Nasional Manupeu Tanah Daru, Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur. Kabut mengambang di lembah-lembah bukit. Embun membasahi rerumputan.

Tapi bagi burung-burung, hari sudah terlalu terang. "Kita terlalu siang. Kakatua mungkin sudah pergi," jelas Bobby Darmawan, staf Pengendali Ekosistem Hutan Taman Nasional Manupeu Tanah Daru. 

Kakatua sumba (Cacatua sulphurea citrinocristata) tak lagi terdengar suaranya. Burung paruh bengkok berwarna putih dengan jambul jingga itu telah melalang buana. Titus masih mencari-cari kakatua sumba. 

Kami berdiri di punggung bukit sehingga bisa melayangkan pandangan ke segala arah. Pada kerumunan blok hutan di lembah bukit di sisi timur, kakatua jambul jingga menghabiskan malam. Sunyi senyap.

"Itu masih ada kakatuanya. Bertengger, lima ekor," tutur Titus. Matanya begitu awas. Lima kakatua tersebut bertengger diam di cabang pohon marra (Trameles nudiflora). Bobby menuturkan pohon ini kesukaan kakatua jambul jingga. 

"Pohonnya besar, menjulang dan kayunya tidak terlalu keras," terangnya, "cocok untuk bersarang di lubang pohon." 

Pagi itu, telinga Bobby yang peka bisa mengenali berbagai jenis burung. Seekor burung yang terbang melintas cepat, sembari bersiul seperti peluit panjang. "Itu Nuri pipi merah." Hanya suara; sementara nuri pipi merah itu segera tenggelam dalam tetajukan pohon. Bobby menuturkan bahwa di padang rumput juga ada paok la'us (Pitta elegans). "Tadi ada suaranya," ujarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar