Sabtu, 24 Januari 2015

Meramal Nasib Setahun ke Depan (Ritual Adat Wae Rebo Manggarai)

Kampung Adat Wae Rebo, Manggarai (Koran-Sindo)
SEIRING naiknya popularitas kampung adat Wae Rebo di Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT), upacara adat Penti yang dihelat di konservasi warisan budaya UNESCO ini juga menarik wisatawan untuk berkunjung.

Acara potong ayam dan mencambuk badan menjadi kegiatan paling ditunggu.Sebelum 2012, tak banyak orang Indonesia yang mengenal Wae Rebo. Jangankan mereka yang gemar traveling , orang lokal di Kabupaten Manggarai, NTT, pun banyak yang tidak tahu. Ini karena letak desa tersebut yang sangat terpencil, di balik lembah, dan butuh hikingselama 3-4 jam untuk sampai di desa ini.

Justru orang asinglah yang lebih mengetahui tentang keberadaan Wae Rebo. Cerita ini saya dapatkan dari salah satu warga Wae Rebo yang saya temui saat berkunjung ke desa tersebut pada November tahun lalu. Menurut dia, pada sekitar akhir tahun 1990-an, gubernur NTT mengunjungi sebuah acara di Amerika.

Di sana beliau ditanya tentang kondisi Desa Wae Rebo. Karena tak tahu sama sekali tentang keberadaan desa tersebut, beliau hanya menjawab seadanya. Begitu pulang ke NTT, gubernur langsung memerintahkan jajarannya untuk membangun kembali rumah tradisional Mbaru Niang di Wae Rebo. Bantuan dari Rumah Asuh Foundation pun didapatkan. Lembaga inilah yang lantas membangun rumah adat berbentuk kerucut setinggi 15 meter dengan 5 lantai tersebut.

Kini, ada 7 Mbaru Niang di Wae Rebo, masing-masing ditinggali 6-8 keluarga. Mbaru Niang memiliki atap yang tinggi, hampir menyentuh tanah. Atap ini dibangun dengan daun lontar yang keseluruhannya ditutup ijuk. Bangunan didirikan dengan kayu worok dan bambu. Untuk menyatukannya tidak menggunakan paku, melainkan tali rotan yang sangat kuat. Kayu dan bambu kebanyakan didatangkan dari Tanah Jawa. Dibawa dengan tetap berjalan kaki menuju Wae Rebo.

Dibutuhkan dana sekitar Rp200 juta-Rp300 juta untuk membangun satu rumah. Nah yang menarik, salah satu rumah bahkan dibekali sistem panel surya yang bisa menangkap sinar matahari untuk digunakan menyalakan listrik. Lantai satu Mbaru Niang dipakai untuk tempat tinggal, termasuk tidur dan memasak.

Lantai dua untuk menyimpan bahan makanan sehari-hari. Lantai tiga untuk benih pangan, seperti padi, jagung, dan kacang-kacangan. Lantai empat untuk stok makanan ketika terjadi kekeringan. Adapun lantai lima untuk tempat sesaji kepada leluhur. Lantai dua hingga lantai lima dibuat mirip loteng. Mulai tahun 2012, Wae Rebo mulai dikenal sebagai tempat eco-tourism .

Mbaru Niang, serta lokasi Wae Rebo yang eksotis, diapit lembah juga gunung, belum lagi hawanya yang dingin sejuk, tentu menjadi daya tarik utamanya. Jika sebelumnya lokasi ini lebih banyak didatangi wisatawan internasional, kini justru lebih banyak wisatawan lokal yang berkunjung ke sini. Misalnya saja saat penyelenggaraan upacara adat Penti yang berlangsung setahun sekali, tiap tanggal 16 November.

Upacara besar

Penti adalah ritual upacara syukuran atas panen dan berkah hidup selama setahun, sekaligus permohonan perlindungan dan berkat untuk satu tahun ke depan. Di Manggarai, Penti dianggap sebagai upacara besar. Tak heran, Wakil Bupati Manggarai Deno Kamelus menyempatkan datang ke Wae Rebo. Saya sempat berpapasan dengan rombongan wakil bupati dalam rute hiking.

Menurut mereka, perwakilan pemerintah selalu hadir dalam upacara Penti . Tentu saja, pak wakil bupati juga harus berjalan kaki menanjak selama 3- 4 jam layaknya turis atau warga kebanyakan. Upacara Penti dilakukan sejak pukul 08.00 pagi. Dimulai dengan sambutan dari para tetua dan Pak Alex selaku ketua adat. Rombongan tetua dan warga diikuti rombongan turis, kemudian berbondong-bondong menuju sumber mata air Wae Rebo untuk melakukan pemotongan ayam.

Tempat ini dipilih karena air adalah sumber kehidupan. Adapun pemotongan ayam adalah untuk mencari tahu akan seperti apa nasib Wae Rebo setahun mendatang. Mengapa ayam yang dipilih? Itu karena ayamlah yang berkokok pada pagi hari, memberitahukan bahwa pagi telah datang. Karena itu, ayam juga dianggap bisa memberitahukan tentang masa setahun ke depan.

Caranya adalah dengan memotong ayam, lalu melihat kondisi organ hati ayam tersebut. Jika kondisinya bagus, maka kehidupan cerah menanti warga Wae Rebo selama setahun ke depan. Selain di sumber mata air, upacara pemberkatan juga dilakukan di pintu masuk kampung dan di area belakang kampung, dekat lahan pertanian. Kegiatan lain yang menarik dalam Penti ialah Caci, sebuah acara mencambuk badan yang cukup mendebarkan. Kegiatan ini sangat populer di Manggarai.

Aturan main Caci , satu orang akan berusaha mencambuk lawan mainnya dengan cambukan besar. Adapun lawan mainnya akan berusaha menangkis dengan tameng terbuat dari besi. Siapa yang anggota badannya terkena cambuk, dia kalah. Uniknya, bagi warga Manggarai, terkena cambuk juga bisa berarti sebuah kebanggaan. Maksudnya, orang lain akan kagum pada peserta Caci karena keberaniannya mengikuti acara tersebut. Karena itulah, terkadang ada yang sengaja agar tubuhnya kena cambuk agar punya bukti "kebanggaan" tersebut.

 Acara Caci berlangsung seru karena diselingi pantun lucu dan cemoohan kepada lawan main. Belum lagi tari-tarian yang mengiringinya. Tentu saja, Caci juga acara favorit para turis untuk sekadar ditonton atau jadi objek foto. Saat Penti pada 2014 lalu, saya cukup senang melihat rombongan turis lokal yang kelihatan lebih banyak dibandingkan turis asing.

Ini artinya, kesadaran akan eco-tourism dan wisata budaya di Indonesia semakin meningkat. Ini mungkin juga bisa diartikan bahwa orang Indonesia sudah mulai peduli dengan kekayaan bangsa sendiri dibandingkan sibuk berbangga diri dengan meniru kebudayaan bangsa lain. Semoga saja persepsi saya benar.

Herita endriana

(http://www.koran-sindo.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar